Materi Asam Basa

Khas

Aceh

Asam Sunti

Aceh

Asam Sunti merupakan salah satu bumbu dapur khas Aceh yang berasal dari belimbing wuluh segar yang dikeringkan. Bumbu satu ini selalu tersedia di dapur-dapur rumah masyarakat Aceh terutama di daerah perkampungan. Kegunaannya banyak dipakai untuk memberi rasa asam gurih. Biasanya, bumbu dapur ini terdapat pada masakan yang memiliki rasa asam dan pedas, seperti uengkoet keumamah, gule asam keueung, dan lainnya. Khusus pada gulai uengkoet dan keumamah, keasaman dari asam sunti ini bisa membuat olahan ikan tidak anyir dan lebih berasa enak. Untuk mendapatkan bumbu ini tidak sulit. Di berbagai pasar tradisional, kerap ditemukan penjual asam sunti. Tapi, biasanya, penduduk Aceh membuat sendiri asam sunti di rumah. Bahan baku yang digunakan juga mudah ditemukan, hanya menggunakan belimbing sayur atau belimbing  wuluh, air, dan garam. Proses pembuatan asam sunti dilakukan dengan menjemur belimbing wuluh di bawah sinar matahari hingga layu. Setelah penjemuran pertama, belimbingditaburi garam dan disimpan di tempat teduh. Kemudian dibiarkan hingga meresap. Keesokan harinya, dijemur kembali. Proses ini diulang beberapa kali hingga belimbing menjadi kecokelatan dan kering, serta kandungan airnya menipis. Kandungan asam dan garam yang cukup tinggi pada asam sunti, dapat menghambat proses pembusukan oleh mikroorganisme. Asam Sunti memiliki kandungan senyawa asam organik yang mampu memberikan rasa masam. Asam organik ini berasal dari kandungan yang terdapat pada buah belimbing wuluh. Asam oksalat, asam sitrat, asam laktat, asam malat, dan asam askorbat merupakan asam-asam organik yang terkandung dalam buah belimbing wuluh. Berdasarkan penelitian Muzaifa (2018), asam oksalat menjadi kandungan senyawa yang paling dominan dalam buah belimbing wuluh. Berikut adalah hasil analisis kandungan senyawa asam organik pada penelitian Muzaifa (2018): Sumber: Dari artikel https://aceh.tribunnews.com/2014/04/19/asam-sunti-si-ajaib-pengaya-rasa. Dari artikel https://anteroaceh.com/news/asam-sunti-bumbu-rahasia-kelezatan-masakan-aceh-yuk-intip-cara-membuatnya/index.html. Muzaifa, M. (2018). Perubahan komponen kimia belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) Selama pembuatan asam sunti. Jurnal teknologi pertanian andalas, 22(1), 37-43.
Khas

Jawa

Obat Kenanga

Jawa

Masyarakat Jawa secara tradisional mengenal bunga kenanga sebagai obat untuk menangani sengatan lebah. Obat dari bunga kenanga digunakan dengan digosokkan pada tempat yang terkena sengatan. Bisa sengatan lebah (apitoksin) yang dihasilkan lebah pekerja ini memiliki sifat yang asam. Apitoksin ini disekresikan dalam bentuk cairan bening dengan bau tajam, rasanya pahit dan pedas, aromanya khas serta cepat kering. Senyawa-senyawa yang terkandung dalam apitoksin diantaranya adalah triptofan, kolin, gliserin, asam fosfat, asam palmitat, asam lemak, asam vitelin, apromin, peptida, enzim, hystamin, dan mellitin (Suardana, 2014).

Bisa lebah yang bersifat asam dapat dinetralkan dengan bunga kenanga. Hal ini dapat dijelaskan karena kandungan kimia minyak atsiri bunga kenanga termasuk golongan aldehid, keton aseton, furfural, benzaldehid, komponen bersifat basa (metilantranilat), serta golongan terpen (d-terpen), golongan fenol dan fenol eter (fenol, eugenol, isoeugenol, metil salisilat, benzilsalisilat), alkohol dan ester (metil-benzoat, l-linalool, terpineol, benzil alkohol, feni-etil alkohol, geraniol, fernesol), dan sesquisterpen (d-caryophyllen, sesquisterpen-alifatis, l-sesquisterpen, d-sesquisterpen) yang juga secara umum bersifat basa (Guenther, 1987).

Dari penjelasan ilmiah di atas, kenanga dalam pengunaannya dapat dijadikan pengobatan tradisional yang tepat sasaran dan efektif saat menangani sengatan lebah. Hal ini menandakan bahwa kegiatan tradisi ataupun budaya yang tumbuh dan berkembang pada suatu masyarakat tertentu bukan berarti jauh maupun bertentangan dengan ilmu pengetahuan maupun teknologi yang dipelajari di sekolah, namun fakta ilmiah telah membuktikan bahwa terdapat kaitan erat antara tradisi khas suatu daerah dengan konsep ilmu pengetahuan modern. Oleh karena itu, kita harus terus menghargai dan melestarikan budaya khas bangsa Indonesia.

 

Sumber:

  • Suardana, I. Y. 2014. Analisis Relevansi Budaya Lokal dengan materi Kimia SMA untuk Mengembangkan Perangkat Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Berbasis Budaya. Jurnal Pendidikan Indonesia: 331-347
  • Guenther, E. 1987. Minyak Atsiri jilid I (Terjemahan). Jakarta : UI Press. Hal. 44-484.
  • Rahmawati, Yuli & Achmad R. 2018. Bahan Ajar Asam Basa dalam pembelajaran Culturary Responsive Teaching (CRT). Jakarta.
Khas

Sulawesi Selatan

Lawa Bale

Sulawesi Selatan

Tidak banyak penduduk Indonesia yang mengetahui bahwa di timur Indonesia terdapat makanan khas suku Bugis Sulawesi Selatan, yaitu Lawa Bale. Bale dalam bahasa Sulawesi memiliki arti ikan. Oleh sebab itu, bahan pokok pembuatan Lawa Bale ialah ikan, yang merupakan produk melimpah di perairan Sulawesi Selatan. Ikan yang biasa digunakan untuk bahan lawa bale adalah ikan-ikan ikan segar berukuran kecil seperti ikan teri, ikan jambu, dan ikan banjar yang sudah dibersihkan dan dipisahkan dari tulang dan kepalanya. Ikan tersebut disajikan bersama bumbu wajib seperti jeruk nipis atau asam jawa dan ditambahkan garam serta parutan kelapa untuk menambah cita rasa. Penyajian Lawa bale biasanya dilakukan pada pesta adat atau pada acara ritual kegamaan. Cita rasa dari Lawa bale adalah gurih dan segar akibat pemakaian jeruk nipis atau asam jawa. Cita rasa gurih didapatkan dari parutan kelapa yang ditaburkan diatas lawa bale. Tanpa proses pemasakan terlebih dahulu, Lawa bale dapat dibuat cukup dengan teknik pengasaman dengan jeruk nipis, atau asam jawa. Hal ini dikarenakan kedua macam bumbu tradisional tersebut mengandung senyawa turunan karboksilat (-COOH). Sesuai dengan namanya, asam karboksilat bersifat asam. Pada asam jawa, terdapat asam tartrat dengan rumus molekul C4H4O6. Sedangkan pada air jeruk nipis ditemukan asam sitrat yang memiliki rumus molekul C6H8O7. Keduanya memiliki rumus struktur sebagai berikut: Kedua asam tersebut dibutuhkan untuk mencegah kontaminasi ikan oleh miikroorganisme tanpa perlu perebusan, sehingga tidak mengurangi nilai gizi dari ikan tersebut akibat kerusakan protein dari pemasakan atau perebusan ikan. Dengan kata lain, kedua asam tersebut dapat digunakan sebagai proses pengawetan makanan pada ikan mentah. Berdasarkan penelitian Novia, dkk (2011) dalam keadaan normal, ikan segar memiliki kandungan air yang tinggi yaitu sebesar 80% dengan pH tubuh ikan yang mendekati netral, dan daging ikan yang mudah di cerna. Karena itu, kondisi tersebut dapat menjadi media yang baik bagi bakteri pembusuk. Penambahan ekstrak jeruk nipis dan asam jawa pada lawa bale terbukti dapat menurunkan nilai pH tubuh ikan, yang bersifat netral menjadi lebih asam. Akibatnya bakteri yang tidak tahan dengan kondisi pH yang terlalu asam. Sumber: Dari artikel https://www.tipscaramanfaat.com/manfaat-dan-kandungan-nutrisi-jeruk-nipis-67.html Novia, A dkk. 2011. Mutu Produk Lawa Bale (Makanan Khas Sulawesi Selatan) Ditinjau dari Aspek Mikrobiologi dan Daya Terima Konsumen. Media Gizi Masyarakat Indonesia, 1(1), 35-36. Rahmawati, Yuli & Achmad R. 2018. Bahan Ajar Asam Basa dalam pembelajaran Culturary Responsive Teaching (CRT). Jakarta.

Unduh materi

Neth Chem merupakan platform pembelajaran Kimia berbasis teknologi.

Hak cipta @ 2022 Etnokimiaedu.id